"Apa salah jika sama-sama
mengenal tuhan walau panggilan berbeda?"
Itulah sepenggal kalimat dari
curhatan pemudi disebuah blognya. Sebuah pertanyaan demi sebuah pernyataan
cinta. Bukan sembarang cinta, Kawan! Temanya lawas tapi membuat kuping panas.
Cinta pasangan berbeda agama. Gugatan yang dilayangkan kepada manusia sekitarnya.
Kadang Tuhan disinggung juga dalam curhatnya. Bukan hal baru memang. Tetapi
nasib menghantarkan si penulis pada gelanggang yang lebih luas. Dari sekedar
tuangan hati menjadi tontonan lautan pasang mata. Gugatannya menyeruak tak
sekedar dunia maya, tetapi menjadi dikemas dalam hiburan. Sekarang gugatan itu
mungkin diamini muda mudi lainnya, hingga semakin membahana. Layak mereka
berterima kasih kepada Hanung bramantyo yang mengangkat kisah curhat ini
menjadi wacana yang mengangkasa. Cinta tapi Beda!
Hakikatnya mereka memuja Cinta.
Cinta adalah tujuan tertinggi. Bukan cinta yang salah, tapi meletakkannya yang
keliru. Agama dipandang sebagai penghalang. Batasan-batasan yang membelenggu.
Perbedaan agama hanyalah bayangan semu. Semua toh menuju Tuhan yang sama.
Disini mulai tercium bau busuk pluralisme agama. Bukan-bukan, mereka bukan
sarjana perbandingan agama, atau kuliah tafsir quran yang dibimbing pakar agama
dari Leiden, Chicago atau Ciputat. Mereka hanyalah muda-mudi yang terseret
gelombang kebebasan. Agama yang harusnya menjadi bendungan malah diruntuhkan.
Mereka bukan pula tak percaya
Tuhan. Apalagi membunuhNya. Tak sampai kesana. Mereka percaya Tuhan itu ada.
Bahkan hati merasa ingin dekat denganNya. Sayangnya, hati tak bergandengan
dengan pikiran. Tuhan bagi mereka hanya perkara spiritualitas belaka. Tuhan
yang membiarkan manusia bebas berkelana dalam kenaifan pikirannya. Tuhan yang
Maha baik itu membiarkan manusia menentukan baik dan buruk sendiri. Tuhan
baginya, tak ikut mencampuri benar dan salah. Bahkan Tuhan pun ikut dalam
gerbong pemuja cinta. Tuhan bagi mereka ada pojok sana. Tak mencampuri
kehidupan manusia. Tuhan yang tak kuasa, hanya terbelenggu oleh dikte-dikte
manusia. Tuhan bukan penetap hukum. malah tuhan yang terhukum. Terkurung
penjara buatan manusia bernama kebebasan.
Mereka tak sudi dianggap tak
beragama. "Enak, saja," cetus mereka. "Saya syahadat, sholat,
puasa kok." Tapi Cinta berbeda agama bukan hal yang prinsip. Semua agama
sama teriak mereka. "Kita hanya memanggil namanya dengan cara yang
berbeda-beda. Untuk apa Tuhan Ciptakan perbedaan jika hanya jadi
penghalang?,"teriak mereka. Suara mereka begitu lantang hingga menutupi
akalnya. Tak terpikir oleh mereka, manusialah yang memilih untuk berbeda.
Memlih jalan (agama) masing-masing. Memisahkan diri dari jalan yang
dikehendakiNya. Semua ujian Tuhan itu malah dianggap sebagai rahmatNya. Maka
ketika Tuhan hanya merdihai hubungan cinta yang berbaris di jalan-Nya, mereka
layangkan gugatan kepada Tuhan. Mereka seret Tuhan kepada sebuah pengadilan
atas nama cinta. Larangan nikah beda agama mereka vonis berbahaya! Kemudian
dijebloskan DIA dalam sebuah penjara bernama kebebasan. Biarkan Tuhan meringkuk
disana! jangan campuri urusan manusia. Kata mereka, Tuhan itu suci, tapi nyatanya,
mereka biarkan FirmanNya sunyi dalam sendiri.
Tuhan dimata mereka lebih mirip
Hantu. Yang tak jelas pesan dan keinginanNya. Mereka lebih suka menerka-nerka
Tuhan. Menafsirkan sendiri-sendiri kehendakNya. Tuhan dan kehendakNya lebih
misteri ketimbang teka-teki. Di isi dan di revisi, sesuai nafsu pribadi. Firman
dan wahyu dianggap lalu. Tak sesuai dengan zaman yang sedang melaju.
Maka tak heran kalau agama
dihujat. Alih-alih menjadi pandangan hidup, agama tak lebih dari sebuah mantel.
Di pakai sesuai cuaca hati. Namun lebih sering digantung dibalik pintu hawa
nafsu. Hukum dan aturan mereka campakkan. Merasa hukum agama tak selamanya.
Syahadat tak lebih sekedar syarat dalam sholat. Timbangan kebenaran tak boleh
lebih berat dari pada cinta. Ketika cinta berbeda agama dikecam , mereka
seringkali mencaci saudara seagama diseberangnya. Jangan kalian bicara atas
nama Tuhan! Tuhan itu pemuja cinta. Tuhan itu berdiri digarda terdepan dalam
kebebasan. Tak sadar mereka pun sedang berbicara atas namaNya.
Tanpa disadari, sekali lagi,
merekalah yang mendikte Tuhan. Menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya. Mungkin
mereka lupa, ketika sholat, mereka bersujud. Kepala (akal) yang mereka
agungkan, dipaksa tersungkur ditanah. Wajah yang mereka banggakan dipaksa mencium
tanah. Semua takluk dihadapan Tuhan. Harusnya hanya Tuhan yang berdaulat Tapi
apa daya, tak ada setitik pun hal tadi di ingatnya. Pikirannya tenggelam dalam
lautan euforia kebebasan dan gelombang sekularisme. Membawa perahu cinta beda
agama sebagai salah satu bahteranya. (beggy riskiyansyah)