Selasa, 19 November 2013

Tuhan Yang Terpenjara

"Apa salah jika sama-sama mengenal tuhan walau panggilan berbeda?"

Itulah sepenggal kalimat dari curhatan pemudi disebuah blognya. Sebuah pertanyaan demi sebuah pernyataan cinta. Bukan sembarang cinta, Kawan! Temanya lawas tapi membuat kuping panas. Cinta pasangan berbeda agama. Gugatan yang dilayangkan kepada manusia sekitarnya. Kadang Tuhan disinggung juga dalam curhatnya. Bukan hal baru memang. Tetapi nasib menghantarkan si penulis pada gelanggang yang lebih luas. Dari sekedar tuangan hati menjadi tontonan lautan pasang mata. Gugatannya menyeruak tak sekedar dunia maya, tetapi menjadi dikemas dalam hiburan. Sekarang gugatan itu mungkin diamini  muda mudi lainnya, hingga semakin membahana. Layak mereka berterima kasih kepada Hanung bramantyo yang mengangkat kisah curhat ini menjadi wacana yang mengangkasa.  Cinta tapi Beda!

Hakikatnya mereka memuja Cinta. Cinta adalah tujuan tertinggi. Bukan cinta yang salah, tapi meletakkannya yang keliru. Agama dipandang sebagai penghalang. Batasan-batasan yang membelenggu. Perbedaan agama hanyalah bayangan semu. Semua toh menuju Tuhan yang sama. Disini mulai tercium bau busuk pluralisme agama. Bukan-bukan, mereka bukan sarjana perbandingan agama, atau kuliah tafsir quran yang dibimbing pakar agama dari Leiden, Chicago atau Ciputat. Mereka hanyalah muda-mudi yang terseret gelombang kebebasan. Agama yang harusnya menjadi bendungan malah diruntuhkan.

Mereka bukan pula tak percaya Tuhan. Apalagi membunuhNya. Tak sampai kesana. Mereka percaya Tuhan itu ada. Bahkan hati merasa ingin dekat denganNya. Sayangnya, hati tak bergandengan dengan pikiran. Tuhan bagi mereka hanya perkara spiritualitas belaka. Tuhan yang membiarkan manusia bebas berkelana dalam kenaifan pikirannya. Tuhan yang Maha baik itu membiarkan manusia menentukan baik dan buruk sendiri. Tuhan baginya, tak ikut mencampuri benar dan salah. Bahkan Tuhan pun ikut dalam gerbong pemuja cinta. Tuhan bagi mereka ada pojok sana. Tak mencampuri  kehidupan manusia. Tuhan yang tak kuasa, hanya terbelenggu oleh dikte-dikte manusia. Tuhan bukan penetap hukum. malah tuhan yang terhukum. Terkurung penjara buatan manusia bernama kebebasan.  

Mereka tak sudi dianggap tak beragama. "Enak, saja," cetus mereka. "Saya syahadat, sholat, puasa kok." Tapi Cinta berbeda agama bukan hal yang prinsip. Semua agama sama teriak mereka. "Kita hanya memanggil namanya dengan cara yang berbeda-beda. Untuk apa Tuhan Ciptakan perbedaan jika hanya jadi penghalang?,"teriak mereka. Suara mereka begitu lantang hingga menutupi akalnya. Tak terpikir oleh mereka, manusialah yang memilih untuk berbeda. Memlih jalan (agama) masing-masing. Memisahkan diri dari jalan yang dikehendakiNya. Semua ujian Tuhan itu malah dianggap sebagai rahmatNya. Maka ketika Tuhan hanya merdihai hubungan cinta yang berbaris di jalan-Nya, mereka layangkan gugatan kepada Tuhan. Mereka seret Tuhan kepada sebuah pengadilan atas nama cinta. Larangan nikah beda agama mereka vonis berbahaya! Kemudian dijebloskan DIA dalam sebuah penjara bernama kebebasan. Biarkan Tuhan meringkuk disana! jangan campuri urusan manusia. Kata mereka, Tuhan itu suci, tapi nyatanya, mereka biarkan FirmanNya sunyi dalam sendiri.

Tuhan dimata mereka lebih mirip Hantu. Yang tak jelas pesan dan keinginanNya. Mereka lebih suka menerka-nerka Tuhan. Menafsirkan sendiri-sendiri kehendakNya. Tuhan dan kehendakNya lebih misteri ketimbang teka-teki. Di isi dan di revisi, sesuai nafsu pribadi. Firman dan wahyu dianggap lalu. Tak sesuai dengan zaman yang sedang melaju.

Maka tak heran kalau agama dihujat. Alih-alih menjadi pandangan hidup, agama tak lebih dari sebuah mantel. Di pakai sesuai cuaca hati. Namun lebih sering digantung dibalik pintu hawa nafsu. Hukum dan aturan mereka campakkan. Merasa hukum agama tak selamanya. Syahadat tak lebih sekedar syarat dalam sholat. Timbangan kebenaran tak boleh lebih berat dari pada cinta. Ketika cinta berbeda agama dikecam , mereka seringkali mencaci saudara seagama diseberangnya. Jangan kalian bicara atas nama Tuhan! Tuhan itu pemuja cinta. Tuhan itu berdiri digarda terdepan dalam kebebasan. Tak sadar mereka pun sedang berbicara atas namaNya.


Tanpa disadari, sekali lagi, merekalah yang mendikte Tuhan. Menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya. Mungkin mereka lupa, ketika sholat, mereka bersujud. Kepala (akal) yang mereka agungkan, dipaksa tersungkur ditanah. Wajah yang mereka banggakan dipaksa mencium tanah. Semua takluk dihadapan Tuhan. Harusnya hanya Tuhan yang berdaulat Tapi apa daya, tak ada setitik pun hal tadi di ingatnya. Pikirannya tenggelam dalam lautan euforia kebebasan dan gelombang sekularisme. Membawa perahu cinta beda agama sebagai salah satu bahteranya. (beggy riskiyansyah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih Telah Mengisi Komentar