Jumat, 26 Maret 2010

UTS Filsafat Ilmu Sosial

Menurut Husserl, dasar pemikiran dari fenomenologi adalah semua manusia hidup sebagai manusia yang sadar. Husserl menyatakan bahwa kita memiliki “sikap natural” yang mengandalkan tingkah laku kita, sehingga kita senantiasa melakukan hal-hal dalam kehidupan sehari-hari tanpa dibuat-buat atau direncanakan sebelumnya. Fenomenologi memiliki pengandaian: manusia harus berdiri di satu titik tertentu dan kemudian membentuk “fenomenological epoche”. Ketika perpindahan pikiran terjadi antar-korelasi structural maka objek akan dapat dipahami melalui tindakan yang kita lakukan. Struktur ini juga merupakan esensi yang digunakan untuk memperoleh dasar dari setiap tindakan yang dilakukan manusia. Jadi Husserl menganggap fenomenologi sebagai ilmu pengetahuan pokok. Heidegger kemudian melanjutkan penelitian Husserl. Heidegger menganalisa bahwa kesadaran bukanlah murni pikiran saja. Akan tetapi menurutnya itu merupakan “Dasein” yaitu suatu pemikiran fakta hasil dari interaksi manusia dengan lingkungannya yang akan menjelaskan sisi alamiah. Perubahan istilah menjadi Dasein menandakan perubahan konsep fenomenologi yang sangat besar oleh Heidegger. Fenomenologi kembali kpd dunia empiris dr makhluk hidup yang berinteraksi dgn lingkungan sekitar. Jadi dari sana pula muncul konsep fenomenologi yang baru yaitu fenomenologi eksistensi. Dia memunculkan konsep analitis fundamental dalam fenomenologi yaitu hidup di dunia dan hidup bersama yang lain. Hasil kerja dari Schutz adalah dua pendekatan (sosiologi fenomenologi dan ethnomethodology). Kedua pendekatan ini sama2 menggiring analisis social berpindah dari yg sebelumnya focus pd individu mnj focus terhadap struktur dan institusi social. Ethnomenologi berusaha menemukan masalah yang ada di kehidupan bermasyarakat sehari-hari utk kemudian memahaminya melalui interaksi maupun peraturan yang ada di masyarakat.

Ilmu social lebih terbelakang dibandingkan ilmu alam karena kedua jenis ahli tersebut berada dalam dunia yang berbeda. Hal ini menitikberatkan pada fakta bahwa ahli ilmu social memang menarik diri dari praktisi analitik. Karl Popper (pembunuh positivism logis), Otto Neurath (Vienna), Karl Menger (Vienna) tidak menarik diri dari tradisi analitik. Doktrin fisikalisme: epistemologis, metalinguistik, dan konsep fisikalisme yang nomologikal. Epistemologis adalah konsep fisikalisme yang mengandung sikap komprehensif. Pemikiran ini tidak tergantung pada realism sains yg menimbulkan korespodensi teori mengenai kebenaran, tetapi menyertai beberapa elemen konstruktif pada tingkat metaepistemologi yang berhubungan dengan justifikasi. Metalinguistik focus pada “setiap pernyataan ilmiah adalah pernyataan dgn fakta empiris yg menyerupai keteraturan hukum”. Bagi Neurath, fisikalistik tidak mewakili kondisi logis dalam hubungan ekspresi individu terhadap teori2 tinggi dalam berbagai disiplin ilmu, melainkan mewakili kondisi epistemology yang berhubungan dengan bolehnya pernyataan-pernyataan untuk digabungkan dalam satu ilmu pengetahuan sendiri.

Pendekatan teoritis mencoba menggabungkan ilmu social dan mendorongnya pada sebuah kritik. Pendekatan praktis beranggapan bahwa ilmu social kritis paling baik dipadukan secara praktis dan politis disbanding secara teoritis atau epistemis. Habermas memiliki pandangan tertentu dalam melihat pendekatan praktis dan pluralis. Ia menganggap setiap teori dan metode memiliki legitimasi yang relative. Sebenarnya ia melihat logika penjelasan adalah pluralistic dan ia menghilangkan perangkat teori umum. Ia juga beranggapan bahwa beragam teori social semestinya bias terhubung satu sama lain dalam satu atap. Dalam membahasa persoalan modernisasi rakyat, Habermas menganggap teori yang telah ada memiliki legitimasinya tersendiri dan teori kritis berusaha menggabungkan beragam teori dan metode serta praduganya yg bermacam2.
Pendekatan Kantian tidak berorientasi pada teori, melainkan memandang kritik sebagai pengetahuan social yang bertujuan praktis.
Pendekatan Hegelian bersuaha menggabungkan ilmu pengetahuan social dalam teori2 komprehensif utk menghasilakn sebuah sejarah umum dalam masy modern.

Selasa, 23 Maret 2010

Persiapan UTS HAM

1. Salah satu masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat memasuki era reformasi adalah penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Hal itu juga dialami oleh bangsa lain yang berada pada masa transisi dari rezim otoritarian menuju rezim yang demokratis.
2. Salah satu mekanisme penyelesaian yang telah ditetapkan adalah melalui Pengadilan HAM ad hoc. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menyatakan “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.” Pengadilan tersebut dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul DPR.
3. Keberadaan Pengadilan HAM ad hoc pernah menimbulkan perdebatan karena merupakan salah satu bentuk pengesampingan asas non-retroaktif. Namun demikian, melalui Putusan MK No. 065/PUU-II/2004, Pengadilan HAM ad hoc dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pengadilan tersebut merupakan pengesampingan terhadap asas non-retroaktif yang dilakukan dengan sangat hati-hati, hal itu tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK tersebut sebagai berikut.
(a) pembentukannya hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dengan locus delicti dan tempus delicti yang terbatas, bukan untuk semua peristiwa secara umum; dan
(b) Pengadilan HAM ad hoc hanya dapat dibentuk atas usul DPR karena menurut UUD 1945 DPR adalah representasi rakyat Indonesia, yang berarti bahwa pada dasarnya rakyatlah yang menentukan kapan pelanggaran HAM yang berat sebelum pembentukan UU Pengadilan HAM telah terjadi yang penyelesaiannya membutuhkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.
4. Walaupun keberadaan Pengadilan HAM ad hoc sudah dinyatakan tidak bertentangan dengan konstitusi, namun terdapat berbagai perbedaan pendapat dan muncul permasalahan dalam pelaksanaan pembentukannya, yaitu:
a. Pertama, pernah muncul pendapat bahwa Pengadilan HAM ad hoc harus dibentuk terlebih dahulu sebelum dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM dan penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Pendapat ini pernah dikemukakan oleh beberapa tokoh yang menolak panggilan Tim ad hoc Komnas HAM karena berpendapat bahwa penyelidikan Komnas HAM tidak sah karena belum terbentuk Pengadilan HAM ad hoc. Pendapat ini mendasarkan pada pandangan bahwa usul pembentukan Pengadilan HAM ad hoc yang dibuat oleh DPR didasarkan pada dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, yang diperoleh melalui mekanisme kerja DPR sendiri dan tidak berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan.
b. Kedua, belum adanya kesepahaman tentang mekanisme penyelidikan oleh Komna HAM dan penyidikan oleh Kejaksaan Agung, serta ukuran telah lengkapnya penyelidikan yang menentukan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Hal itu menimbulkan pengembalian hasil penyelidikan yang berulang-ulang serta terhentinya perkara pelanggaran HAM tersebut di Kejaksaan Agung.
5. Terhadap permasalahan pertama, yaitu apakah pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dibentuk sebelum atau sesudah penyelidikan dan penyidikan telah mendapatkan jawaban berdasarkan Putusan MK Nomor 18/PUU-V/2007. Putusan tersebut menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata “dugaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sesuai dengan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga putusan tersebut mengikat dan harus dilaksanakan sejak diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan.
6. Putusan tersebut tidak terkait dengan keterlibatan DPR, tetapi terkait dengan dasar pertimbangan DPR dalam mengambil keputusan. Sebagai akibat hukum dari putusan tersebut, maka usul DPR untuk pembentukan Pengadilan HAM ad hoc adalah setelah dan berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Kejaksaan Agung. Hal itu secara tegas dinyatakan dalam pertimbangan hukum putusan MK sebagai berikut.
“...untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR. Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu. Oleh karena itu, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.”
7. Dengan demikian, penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu melalui Pengadilan HAM ad hoc mekanismenya dimulai dari penyelidikan oleh Komnas HAM, dilanjutkan dengan penyidikan oleh Kejaksaan Agung, dan berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan tersebut DPR memberikan usul pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden untuk menangani kasus tersebut.
8. Permasalahan yang masih belum terselesaikan adakan kesepahaman mekanisme penyelidikan dan penyidikan serta pengajuan kepada DPR untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memang sangat sedikit mengatur tentang hal ini, hanya dalam 4 (empat pasal). Untuk menyelesaikannya, tentu dapat dilakukan melalui perubahan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dengan merinci pengaturan mekanisme penyelidikan dan penyidikan tersendiri, serta pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Namun upaya lain yang dapat dilakukan adalah membuat kesepahaman dan kesepakatan terutama antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung mengenai prosedur dan mekanisme penyelidikan dan penyidikan, serta standar kelengkapan yang harus dipenuhi untuk pelimpahan suatu kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
9. Terhadap permasalahan tersebut, Komnas HAM tentu dapat saja mengajukan perkara sengketa kewenangan lembaga negara kepada MK. Namun dalam perkara tersebut harus dibuktikan dua isu hukum yang penting, yaitu (1) apakah Komnas HAM merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; dan (2) apakah kewenangan yang dipersengketakan tersebut merupakan kewenangan yang juga diberikan oleh UUD 1945.


ABSTRAK
Tekanan untuk diadakannya peradilan internasional khususnya pada Pelanggaran
HAM di Timor-timur didasarkan atas ketidakpercayaan dunia internasional pada
sistem peradilan Indonesia serta Pelanggaran HAM di Timor-timur mempunyai
nuansa khusus karena adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam arti pelaku
Pelanggaran HAM difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah (berbuat dalam konteks
pemerintahan), sehingga akan sulit untuk diadakan pengadilan bagi pelaku
kejahatan secara fair dan tidak memihak. Dicabutnya Perpu No 1 tahun 1999
tentang pengadilam HAM dengan pertimbangan konstitusional maka dibentuklah
Undang-undang No 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Pembentukan
Undang-Undang ini menumbuhkan (imposing) konsep-konsep atau terminologi
hukum yang belum dikenal dalam hukum positif di Indonesia. Adapun
permasalahan dalam penelitian ini adalah Sejauhmana implikasi kewenangan
Pengadilan flak Asasi Manusia Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 untuk mengadili pelanggaran hukum humaniter Internasional dalam
konflik bersenjata Non-internasional yang dalam hal ini termasuk kejahatan HAM
berat sesuai dengan ketentuan hukum internasional ? dan Bagaimana usaha yang
dapat dilakukan dalam menangani kejahatan Hak Asasi Manusia berat yang
mempunyai unsur pelanggaran Hukum Humaniter Internasional (HHI) sesuai
dengan Protokol Tambahan II Tahun 1977 Konvensi Jenewa 1949 dan Statute
Rome 1998 serta Hukum acara yang dilakukan dalam pengadilan HAM untuk
mengadili pelanggaran Hukum Humaniter internasional dalam konflik bersenjata
Non-internasional?
Metode penelitian dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan pendekatan
masalah dilakukan secara yuridis normatif (formal) dengan cara mempelajari,
mengkaji dan menginterpretasikan apa Baja yang terdapat dalam bahan-bahan
hukum berupa konvensi internasional, perundang-undangan, literatur, dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan analisis kewenangan pengadilan HAM
Indonesia dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM
dalam mengadili pelanggaran hak Asasi Manusia Berat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengadilan HAM nasional sendiri walaupun
menganut prinsip-prinsip hukum internasional tetapi masih memakai mekanisme
dan sistem peradilan nasional (hal ini dibuktikan dengan masih digunakan
KUHAP dan KUHP dalam sistem acara peradilan HAM). Dalam pengaturan
jenis-jenis tindak pidana (genoside dan kejahatan kemanusian), Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM tidak secara tuntas
memperhitungkan konsekuensi penyesuaian jenis-jenis tindak pidana yang diatur
dan Statuta Roma 1998 (genoside, kejahatan kemanusian, agresi dan kejahatan
perang). Sehingga pembaharuan hukum (khususnya bagi pengadilan HAM
Indonesia) patut menjadi prioritas utama dalam memaksimalkan penegakkan
HAM Di Indonesia.







Menimbang:

a.
bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
b.
bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi
manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada
perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi
Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan
ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia;
c.
bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu
dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Mengingat:

1.
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan2 Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun
1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
3.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);
4.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886).


Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSI


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1


Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1.
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;
2.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini;
3.
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah
pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
4.
Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi
yang bertanggung jawab secara individual;
5.
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada
tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat
guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undangundang
ini.
BAB II
KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN PENGADILAN HAM


Bagian Kesatu
Kedudukan


Pasal 2


Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Pengadilan Umum.

Bagian Kedua
Tempat Kedudukan


Pasal 3


(1)
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan;
(2)
Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

BAB III
LINGKUP KEWENANGAN


Pasal 4


Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat.

Pasal 5

Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh
warga negara Indonesia.

Pasal 6

Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas)
tahun pada saat kejahatan dilakukan.

Pasal 7

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:

a.
kejahatan genosida;
b.
kejahatan terhadap kemanusiaan;
Pasal 8

Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

a.
membunuh anggota kelompok;
b.
mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
c.
menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara
fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d.
memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;
atau
e.
memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal 9

Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a.
pembunuhan;
b.
pemusnahan;
c.
perbudakan;
d.
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e.
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f.
penyiksaan;
g.
perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
h.
penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan
lain yang telah di,akui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i.
penghilangan orang secara paksa; atau
j.
kejahatan apartheid.

BAB IV
HUKUM ACARA


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 10


Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.

Bagian Kedua

Penangkapan

Pasal 11

(1)
Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan
penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup;
(2)
Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan
alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dipersangkakan;
(3)
Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
diberikan kepada keluarganya segera penangkapan dilakukan;
(4)
Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan
ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti
yang ada kepada penyidik;
(5)
Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan untuk paling lama 1 (satu)
hari;
(6)
Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.
Bagian Ketiga
Penahanan


Pasal 12


(1)
Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan;
(2)
Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan;
(3)
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa
yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti
yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau
mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pasal 13

(1)
Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh)
hari;
(2)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya;
(3)
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum
dapat diselesaikan, maka penahanan dapat, diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari
oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 14

(1)
Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari;
(2)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya;
(3)
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penuntutan belum
dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari
oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 15

(1)
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM dapat dilakukan
paling lama 90 (sembilan puluh) hari;
(2)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 16

(1)
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan
paling lama 60 (enam puluh) hari;
(2)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 17

(1)
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan
paling lama 60 (enam puluh) hari;
(2)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung.
Bagian Keempat
Penyelidikan


Pasal 18


(1)
Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia;
(2)
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia dan unsur masyarakat.
Pasal 19

(1)
Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyelidik
berwenang:
a.
melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam
masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat
pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b.
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan
barang bukti;
c.
memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan
didengar keterangannya;
d.
memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;
e.
meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang
dianggap perlu;
f.
memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau
menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya;
g.
atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1) pemeriksaan surat;
2) penggeledahan dan penyitaan;
3) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan;
4) bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;
5) mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
(2)
Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat penyelidik memberitahukan hal itu kepada
penyidik.
Pasal 20

(1)
Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti
permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik;
(2)
Paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik;
(3)
Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut
kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 3) (tiga puluh) hari
sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan
tersebut.
Bagian Kelima
Penyidikan


Pasal 21


(1)
Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung;
(2)
Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kewenangan menerima
laporan atau pengaduan;
(3)
Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat
mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat;
(4)
Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji
menurut agamanya masing-masing;
(5)
Unsur dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc harus memenuhi syarat:
a.
warga negara Republik Indonesia;
b.
berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam
puluh lima) tahun;
c.
berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang
hukumi;
d.
sehat jasmani dan rohani;
e.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f.
setia kepada Pancasila dan undang-Undang Dasar 1945; dan
g.
memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Pasal 22

(1)
Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) wajib diselesaikan
paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima
dan dinyatakan lengkap oleh penyidik;
(2)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya;
(3)
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum
dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya;
(4)
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung;
(5)
Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka
kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil
penyidikan untuk dilakukan penuntutan;
(6)
Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat
diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda
dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan
praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
Penuntutan


Pasal 23


(1)
Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa
Agung;
(2)
Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat
mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau
masyarakat;
(3)
Sebelum melaksanakan tugasnya penuntut umum ad hoc mengucapkan sumpah atau janji
menurut agamanya masing-masing;
(4)
Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat:
a.
Warga negara Republik Indonesia;
b.
berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam
puluh lima) tahun;
c.
berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman sebagai penuntut umum;
d.
sehat jasmani dan rohani;
e.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
g.
memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Pasal 24

Penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan
paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.


Pasal 25

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis
kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat.

Bagian Ketujuh
Sumpah


Pasal 26


Sumpah penyidik dan Jaksa Penuntut Umum ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat

(4) dan Pasal 23 ayat (3), lafalnya berbunyi sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam


tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu


janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".


"Saya bersumpah/berjanji bahwa senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama,
dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi
dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti
layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan
keadilan".

Bagian Kedelapan
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan


Pasal 27


(1)
Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
(2)
Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang,
terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga)
orang hakim ad hoc;
(3)
Majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diketuai oleh hakim dari Pengadilan
HAM yang bersangkutan.
Pasal 28

(1)
Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Ketua Mahkamah Agung;
(2)
Jumlah hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya 12 (dua
belas) orang;
(3)
Hakim ad hoc diangkat untuk selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1
(satu) kali masa jabatan.


Pasal 29


Untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc harus memenuhi syarat:

1.
warga negara Republik Indonesia;
2.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3.
berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh
lima) tahun;
4.
berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
5.
sehat jasmani dan rohani;
6.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
7.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
8.
memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Pasal 30

Hakim ad hoc yang diangkat sebagaimana dimaksud. dalam Pasal 28 ayat (1) sebelum
melaksanakan tugasnya wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agamanya masing-masing
yang lafalnya berbunyi sebagai berikut:

"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan
memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu
janji atau pemberian”.

“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang pasar 1945, serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama,
dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi
dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti
layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan
keadilan".

Paragraf 3
Acara Pemeriksaan


Pasal 31


Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM
dalam waktu paling 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke
Pengadilan HAM.

Pasal 32

(1)
Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke
Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi;
(2)
Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc;
(3)
Jumlah hakim ad hoc di Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya
12 (dua belas) orang;
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29, dan
Pasal 30 juga berlaku bagi pengangkatan hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.
Pasal 33

(1)
Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke
Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung;
(2)
Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
yang berjumlah 5 (lima) orang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang
hakim ad hoc;
(3)
Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang;
(4)
Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas
usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
(5)
Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)diangkat untuk satu kali masa jabatan
selama 5 (lima) tahun;
(6)
Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi
syarat:
a.
warga negara Republik Indonesia;
b.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun;
d.
berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang
hukum;
e.
sehat jasmani dan rohani;
f.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
h.
memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
BAB V
PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI


Pasal 34


(1)
Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun;
(2)
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma;
(3)
Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI


Pasal 35


(1)
Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli
warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi;
(2)
Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan
dalam amar putusan Pengadilan HAM;

(3)
Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA


Pasal 36


Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d,
dan e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 37

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e,
dan j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 38

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.

Pasal 39

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana, dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.

Pasal 40

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh)
tahun.

Pasal 41

Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal13 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.

Pasal 42

(1)
Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer
dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi
Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan
pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif
dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan
secara patut, yaitu:
a.
komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat
itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru
saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b.
komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan
diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan
perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang
untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(2)
Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang

berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak
melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yaitu:

a.
atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara
jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b.
atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang
lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau
menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(3)
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan

Pasal 40.
BAB VIII
PENGADILAN HAM AD HOC


Pasal 43


(1)
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undangundang
ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc;
(2)
Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan
Presiden;
(3)
Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana di maksud dalam ayat (1) berada di lingkungan
Peradilan Umum.
Pasal 44

Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-undang ini.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 45


(1)
Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Pengadilan HAM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan
Makassar;
(2)
Daerah hukum Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada pada
Pengadilan Negeri di:
a.
Jakarta Pusat yang meliputi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat,
Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan
Tengah;
b.
Surabaya yang meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur;
c.
Makassar yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya;
d.
Medan yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi,
dan Sumatera Barat.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 46


Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluwarsa.

Pasal 47

(1)
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang
ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi kebenaran
dan Rekonsiliasi;
(2)
Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan
Undang-undang.
Pasal 48

Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah
atau sedang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-undang ini.

Pasal 49

Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah
Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat menurut Undang-undang ini.

Pasal 50

Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 191, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3911) dengan ini dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 51

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.